SENYUM
TERAKHIRMU
Sudah
lama senyum itu terenggut dari bibirnya—Semenjak kejadian nahas itu. Hari-hari
yang terlewati sama saja yang dirasakan oleh perempuan berambut sebahu itu,
tidak ada yang berubah setelah kejadian 2 tahun silam. Sudah sekian kali tempat
ini selalu menjadi tempat yang selalu membuatnya ingin kembali sebelum kajadian
itu benar-benar merubah semuanya. Ayunan yang tergantung di pohon yang rindang
ia duduk disana digenggamnya kuat tali yang menggantung itu perasaannya masih
sama—ia hanya mampu merasakan—Tak bisa ia lihat hanya gelap emosinya tak
terkontrol perlahan air bening jatuh dari kelopak matanya. Ia terisak hingga
seseorang datang dan menyentuh pundaknya.
“Jangan ditahan
keluarkan apa yang membuatmu terbeban, sudah dua tahun kamu hanya bersikap
tenang, hanya waktu sehari setelah kejadian itu kamu menangis.”Ucapnya menenangkan
tetapi tangannya masih setia dipundak gadis itu.
“Aku tau kamu Rapuh,Ta.”
Gadis
itu bernama Jelita hidupnya berubah setelah kecelakan—Tabrakan yang dialaminya
membuat penglihatanya tidak berfungsi lagi bahkan ia divonis oleh dokter tidak
dapat melihat kembali, Tetapi dokter juga mengatakan masih ada sedikit
kemungkinan jika didapatkan pendonor yang tepat walau itu kemungkinannya kecil .
“Aku nggak apa-apa.” Suara Jelita lirih.
“Kamu nggak perlu
menutupi itu, Jelita.”Sanggahnya, “Menangis bukan membuatmu lemah setidaknya
kamu mengobati rasa tertekanmu.” Tambahnya, kemudian cowok itu berjalan kedepan
Jelita berhadapan dengannya dan ia berlutut. Tangannya bergerak menyentuh pipi
jelita yang sudah dari tadi dialiri air mata—perlahan menghapusnya sentuhan itu
membuat Jelita tersentak kaget.
“Bukannya kamu memintaku menangis?”
“Iya, tapi tangisanmu saja kamu ragu untuk
mengeluarkannya bagaimana bisa kamu menghapus beban itu?” Cowok itu menatap iba.
“Apa kamu tidak mau belajar untuk tersenyum semenjak
kejadian itu kamu tak pernah tersenyum kembali kamu hanya bersikap tenang.” Tambahnya
lagi.
“Kenapa kamu masih setia menemaniku Vid?”
“Karena aku mengikuti kata hatiku.” Ucap cowok yang
bernama David sembari menggenggam tangan Jelita.
“Stop, Vid jangan karena kamu kasihan.” Jelita
melepas genggaman David.
“Aku tulus.”
“Aku capek, ayo pulang!” Jelita mencoba berdiri dari
ayunan dengan sigap David membantunya.
“Kapan kamu sadar aku benar-benar menyukaimu.” Batin
David
Mereka
pun akhirnya sampai dirumah Jelita, suasana yang begitu sepi karena kedua orang
tuanya bercerai dan Jelita ikut dengan Ayahnya yang begitu sibuk hingga kadang
jarang berada di rumah sedangkan Ibunya ia sudah menikah kembali meski begitu
ia juga tidak pernah telat untuk memberikan perhatian kepada Jelita walau hanya
lewat telepon tapi bukan itu yang dibutuhkan Jelita kehadiran ibunya setiap
saat disisinya yang begitu ia inginkan.
“Non, udah pulang?” Ucap Bi Yuyun, pembantu rumah
tangga yang sudah bertahun-tahun bekerja di rumah Jelita.
“Iya Bu.”
“Jangan menolak saya panggil ibu sudah lama saya
tidak pernah mengucapkan kata itu.” Pinta Jelita.
“Enggak kok non, terserah non saja.” Ucap Bi Yuyun
membantu Jelita duduk di sofa diikuti David.
“Duduk, den.” Yang kemudian dibalas senyum oleh
David lalu duduk di sofa pas didepan Jelita.
“Bu bisa duduk didekat Jelita?” Tanpa waktu lama Bi
Yuyun langsung duduk kemudian merangkul Jelita seolah menggantikan peran Ibu
Jelita.
“Non dari mana saja jalan-jalannya dengan den David?”
“Di taman dekat rumah.”
“Bibi sudah menduga, dari dulu non sangat suka
sekali tempat itu.”
“Iya, disana banyak kenangannya.”
“Yang sabar yah, non.” Bi Yuyun tidak dapat menahan
air matanya.
“Seandainya aku nggak pernah ngalamin ini semua,
Seandainya waktu itu mobil taksi yang aku tumpangi tidak tabrakan mungkin kedua
orang tuaku masih bersama sampai sekarang.”
“Hussstt... kamu jangan selalu menyalahkan diri
sendiri.” David angkat bicara.
“Tapi memang begitu keadaannya, mereka malu punya
anak buta.” Ucap Jelita dengan ekspresi tenang seperti dia sudah terbiasa
dengan kata itu.
“Buktinya ibuku menikah lagi dan ayahku lebih cinta
dengan pekerjaannya.”
“Non, jangan beranggapan seperti itu ayah dan ibu
non bercerai karena hubungan mereka memang sudah tidak bisa di pertahankan,
ayah non juga sibuk kerja untuk biaya non.”
“Tapi setidaknya mereka ingat aku, aku butuh mereka bukan
lewat telepon tapi mereka disampingku sebentar saja mendengar keluhku.”
Ucapan
Jelita seketika membuat suasana hening David tak tau harus berkata apa lagi.
Memang benar apa yang dikatakan Jelita, ia sangat butuh penguat yang diharapkan
dari kedua orang tuanya.
“Bawa aku kekamar, Bi!”
Bi
Yuyun dengan hati-hati menuntun Jelita menuju kamarnya, membaringkannya dikasur,
menyalimutinya. Bi Yuyun memberikan kehangatan seorang Ibu karena ia begitu
menyayangi anak majikannya itu dari dulu dia telah menganggap jelita seperti
anaknya sendiri.
Hari
dimana Jelita pun jatuh sakit karena beban yang ia rasakan sudah sangat berat
untuk ditanggungnya hingga daya tahan tubuhnya menurun. Bi yuyun berniat
membawa jelita kerumah sakit. Sebelum itu dia menelpon David terlebih dahulu.
“Hallo, den bisa kesini?”
“.................”
“Non Jelita sakit.”
“.................”
“Baik den.”
Tak lama David pun
datang dengan segera ia menggendong Jelita menuju mobilnya diikuti dengan Bi
Yuyun. Tak butuh waktu lama mereka akhirnya sampai di Rumah Sakit. Segera
Jelita ditangani oleh Dokter yang selalu menanganinya. Tak lama dokter itupun
keluar dari kamar rumah sakit tempat Jelita sekarang terbaring.
“Bagaimana, dok?” Ucap David begitu Khawatir
“Mana keluarganya Jelita?”
“Saya keluarganya dok kenapa dengan Jelita?”
“Saya ingin bicara dengan ibu dan ayahnya.”
“Ayahnya ada urusan diluar kota dok, ibunya belum
diberi kabar.”
“Tolong hubungi kedua orang tuanya secepatnya karena
jelita sangat kritis.”
David
termenung dengan perasaan yang syok segera ia menghubungi ibu Jelita dan
kemudianya Ayahnya. Tak lama ibunya tiba dirumah sakit sedangkan ayahnya baru
diperjalanan dan mungkin dipastikan besok baru ia tiba dari luar kota. Ibu
Jelita masuk kemar rawat Jelita ia langsung menangis dari tadi ia menahan air
matanya namun melihat kondisi anaknya dari suami pertamannya itu ia merasakan
sakit.
“Bangun sayang, Ibu udah datang.” Ucapnya saat sudah
berada disamping kasur jelita sembari ia mengusap puncuk kepala anaknya itu.
Tidak ada jawaban dari Jelita matanya masih setia terpejam.
“Ayo nak bangun, maafin ibu, hiks... hiks....”
Ucapnya terisak
“Sabar tan.” Ucap David yang baru saja masuk dikamar
rawat.
“Jelita udah lama pengen banget ibunya berada
disampingnya seperti sekarang bahkan lengkap dengan ayahnya.” Ucapan David
membuat Ibu Jelita merasa sangat bersalah kepada putrinya.
“Bahkan ia sering ke taman dimana tante dan om dulu
sering kesana saat Jelita masih anak-anak hingga remaja, ia begitu berharap
orang tuanya bisa utuh kembali.” Jelas David ia tidak melihat rawut wajah ibu
Jelita yang sudah dibanjiri air mata, David hanya fokus menatap seseorang yang
telah lama mengisi hatinya itu.
“Yang lebih tante tidak pernah tau, Jelita
menyalahkan dirinya yang buta bahwa karenanya tante dan om bercerai, dia
menganggap kalian berdua malu memiliki anak seperti Jelita hingga kalian
memutuskan untuk berpisah.” Kali ini David mengucapkan itu dengan melihat
kearah Ibu Jelita.
“Hiks...hiks.. jadi selama ini aku sendiri yang
menyiksa anakku dengan permasalahan yang tidak pernah ada sangkut pautnya
dengan Jelita.” Ucapnya kemudian ia memeluk anaknya itu dengan mata jelita yang
masih saja terpejam.
Besoknya kesehatan
Jelita malah tambah parah, Jantungnya sudah begitu lemah mungkin karena
makannya serta tidurnya yang tidak teratur serta beban yang selalu mengganggunya.
Hingga ia tak mementingkan lagi kesehatannya. Ayah Jelita pun sudah tiba ia
segera menemui dokter yang menangani anaknya.
“Dok, apa yang sebenarnya terjadi pada anak saya?”
Tanya ayah Jelita saat dia sudah berada di ruangan Dokter yang merawat anaknya
itu.
“Begini pak anak bapak sangat tertekan hingga
mengganggu kesehatannya, makan dan pola tidurnya tidak terjaga hingga membuat
daya tahan tubuhnya lemah, dan dari semalam sampai sekarang ia masih kritis” Ucap
dokter menautkan kedua tanganya diatas meja.
Ucapan
dokter langsung membuat ayah Jelita ingin segara menemui anaknya. Ia pun sudah
berada di ruangan Jelita sekarang. Segera ia memeluk anak semata wayangnya itu
dan membuat mantan istrinya yang masih terlelap disofa langsung terbangun.
“Jelita ayo bangun, nak.” Ucapnya menghentikan
pelukannya kemudian memegang kedua pipi anaknya itu.
“Mas sudah datang?”
“Ngapain lagi kamu disini sudah puas melihat anakmu
terbaring lemah seperti ini.” Tegas Ayah Jelita.
“Mas aku nggak pernah ingin semua ini terjadi.”
Sanggahnya, “Kita nggak bole sama-sama egois.” Jelasnya.
“Yang egois itu kamu, selingkuh dengan lelaki lain.”
Ucapnya tidak dapat menahan emosi.
“Kamu juga egois mas kamu lebih pilih pekerjaan dari
pada keluargamu sendiri.”
“Om, Tante kalian masih bersikap seperti ini kalian
tidak kasihan melihat kondisi Jelita sekarang?” Ucap David yang baru saja
datang.
Ibu
dan Ayah Jelita pun terdiam mendengar perkataan David. David yang baru datang
dengan membawa sebuket bunga mawar putih perlahan berjalan mendekati Jelita
yang terbaring lemah ditatapnya wanita itu penuh cinta kemudian ia simpan bunga
itu disamping Jelita.
“Yang jelita harapkan kalian datang memberikan
dukungan untuk kesembuhannya bukan memperdebatkan masalah perpisahan.” Ucap David
begitu kecewa.
David
ingin melanjutkan perkataanya namun terhenti saat suara yang sudah dua hari
tidak ia dengar memanggil namanya.
“Daa..vid.” Ucap Jelita dengan suara serak dan lemah
tapi masih jelas terdengar.
“Jelita.” Ucap Ibu Jelita langsung memeluk anaknya.
“Maafkan ibu sayang, ibu sudah sangat egois dan mengorbankan
perasaan kamu, ibu bercerai sama ayah bukan salah kamu sayang ibu cuman tidak
betah dengan ayah yang lebih sibuk kerja sampai lupa ia punya anak dan istri,
tapi jujur ibu juga salah karena ibu selingkuh.” Pengakuan ibunya itu membuat
Jelita kaget. Ternyata selama ini ibunya selingkuh tanpa ia sadari.
“Maafkan ayah ini semua salah ayah yang terlalu
sibuk tapi itu juga untuk kamu sayang.”
“Kalian baru sadar kemana aja, kalian tau aku buta tapi
sebenarnya kalian yang menutup mata seolah tidak melihat kalian punya anak.
Beberapa hari, minggu, bulan bahkan tahun aku menunggu kalian melihat keadaanku
tapi mungkin aku sangat egois mengharapkan sesuatu yang tak mungkin,
hiks....hiks.” Ucap Jelita dengan terisak.
“Maaf.” Ucap Ibu dan Ayah Jelita.
“Terima kasih untuk semuanya kasih sayang kalian
sejak aku kecil sampai kebencian kalian yang malu karena aku buta.”
“Jangan bilang begitu nak kami tidak pernah
membencimu ini semua karena keegoisan kamiyang menjadikannya seperti ini.”
Jelas Ayah Jelita.
Dada Jelita pun
tiba-tiba sesak ia bergetar hebat yang membuat Ibu dan Ayahnya beserta David
cemas.
“Makasih vid, selama ini lo betah disamping aku
meski aku buta.” Ucapnya dengan suara yang semakin lemah.
“Hussttt aku ikhlas.” Ucap David mengelus kepala
Jelita.
“Kamu harus kuat, aku panggil dokter yah?” Ucap
David ingin beranjak namun tiba-tiba saja Jelita menggenggam tangan kanannya.
“Ng..gak uusahh, akku udah capeekk.”
“Pliss jangan bilang gitu.” David membalas genggaman
Jelita.
“Ibu, ayah tolong kaalian salingg memaafkann.” Pinta
Jelita.
“Ayah sudah memaafkan ibu mu nak.” Ucapnya lalu ia
memeluk Ibu Jelita.
“Maafkan aku mas.” Ucap Ibu Jelita membalas pelukan.
Keduanya pun berhenti berpelukan lalu Ibu
jelita berbalik mencium kening anaknya itu. Sedangkan Ayah Jelita menggenggam
tangan Jelita sebelah kiri karena David juga menggenggam tangan Jelita yang
sebelah kanan.
“Maakasihh unntuk
kalian yaang uudah saayang samaa Jelita, teerlebbih kamu David.”
Jelita
tersenyum begitu bahagia terlukis pada raut wajahnya yang sudah pucat pasif dan
tak lama senyum itu memudar seiring kepergiannya. Semuanya histeris karena
Jelita sudah meninggalkan mereka untuk selamanya.
“Selesai”