Kamis, 28 Maret 2019

Makalah | Latar Belakang Sosial Budaya dalam Puisi | Makna Simbolik Puisi


MAKALAH

“Menganalisis latar belakang sosial budaya dalam puisi
serta makna simbolik sebuah puisi”
Oleh :


kelompok 6
                        mila amalya munir                     : 105331114216
                        TIARA OCTORA                                 : 105331114116
                        Nurfuadah Rahman                    : 105331111816
                        Agus                                                   : 105331111716



UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
oktober, 2017



KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaiakan makalah yang berjudul “Analisis latar belakang sosial budaya dalam puisi serta makna simbolik sebuah puisi”. Salawat serta salam kami curahkan kepada Nabi Muhammad saw sebab ia telah membawa kita dari jalan yang gelap menuju ke jalan yang terang benderam. Makalah ini meskipun banyak rintangan dan hambatan yang kami alami dalam proses pengerjaannya, tapi kami berhasil menyelesaikannya dengan baik.
Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah membantu kami dalam mengerjakan makalah ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman mahasiswa yang juga sudah memberi kontribusi baik langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan makalah ini.
Tentunya ada hal-hal yang ingin kami berikan kepada masyarakat tentang isi dari makalah ini. Karena itu kami berharap semoga makalah ini dapat menjadi sesuatu yang berguna  bagi kita bersama. Pada bagian akhir, kami akan mengulas tentang berbagai masukan dan  pendapat dari orang-orang yang ahli di bidangnya, karena itu kami harapkan hal ini juga dapat  berguna bagi kita bersama. Semoga makalah yang kami buat ini dapat membuat kita mencapai kehidupan yang lebih baik lagi.





                                                                                                                                                                                                                                    Penulis




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Menurut Teeuw (1983) untuk dapat memberikan makna sepenuhnya kepada sebuah sajak, analisis tidak dapat dilepaskan dari latar belakang kemasyarakatan dan budanyanya. Karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya (Abrams, 1981). Hal ini mengingat bahwa sastrawan itu adalah anggota masyarakat, maka ia tidak dapat lepas darinya.
Untuk memahami dan memberi makna sajak yang ditulis oleh penyair Sunda, Bali, Jawa, Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja (Sulawesi Selatan) diperlukan pengetahuan tentang latar belakang sosial-budayanya yang melatarinya. Misalnya untuk memahami sajak Linus Suryadi yang berlatar budaya wayang, maka pembaca harus mengetahui wayang. Dalam ”Asmaradana” diceritakan episode cerita Ramayana.
Puisi ditulis tidak terutama untuk dipahami, melainkan untuk dinikmati. Para sarjana sastra, para kritikus, para penyair, dan mereka yang disebut ahli puisi, mungkin berpendapat lain karena mereka melihat puisi dari lebih banyak sudut pandang. Saya bukan bagian dari golongan itu.

B.     Rumusan Masalah
1.      Menganalisis latar belakang sosial budaya dalam Puisi?
2.      Menjelaskan makna simbolik sebuah puisi?

C.    Tujuan Penelitian
Mengetahui latar belakang sosial budaya dalam puisi serta makna simbolik sebuah karya puisi.




BAB I I
PEMBAHASAN

A.    Analisis latar belakang sosial budaya dalam puisi
Menurut Teeuw (1983) untuk dapat memberikan makna sepenuhnya kepada sebuah sajak, analisis tidak dapat dilepaskan dari latar belakang kemasyarakatan dan budanyanya. Karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya (Abrams, 1981). Hal ini mengingat bahwa sastrawan itu adalah anggota masyarakat, maka ia tidak dapat lepas darinya. Latar sosial budaya itu terwujud dalam karakter tokoh-tokoh yang dikemukakan, sistem kemasyarakatan, adat-istiadat, pandangan masyarakat, kesenian, dan benda-benda kebudayaan yang terungkap dalam karya sastra.
Untuk memahami dan memberi makna sajak yang ditulis oleh penyair Sunda, Bali, Jawa, Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja (Sulawesi Selatan) diperlukan pengetahuan tentang latar belakang sosial-budayanya yang melatarinya. Misalnya untuk memahami sajak Linus Suryadi yang berlatar budaya wayang, maka pembaca harus mengetahui wayang. Dalam ”Asmaradana” diceritakan episode cerita Ramayana.
Asmaradana adalah nama sebuah tembang Jawa yang berisi cerita percintaan. Sita dibakar untuk membuktikan kesuciannya, belum terjamah oleh Rahwana yang mencurinya dari Rama suami Sita. Namun dalam sajak ”Asmaradana” ini cerita diubah oleh Subagio, yaitu Sita memang melakukan sanggama dengan raksasa (Rahwana) yang melarikannya. Untuk mengemukakan pandangan atau pendapat penyair sendiri bahwa manusia itu tidak dapat terlepas dari nalurinya. Dalam cerita Ramayana (wayang), Sinta dibakar di api suci tidak terbakar, ini membuktikan kesuciannya. Untuk lebih jelasnya analisis sajak berdasarkan latar belakang sosial-budaya, dapat diperhatikan berikut ini.


Asmaradana
Sita di tengah nyala api
tidak menyakal
betapa indahnya cinta birahi
Raksasa melarikannya ke hutan
begitu lebat bulu jantannya
dan Sita menyerahkan diri

Dewa tak melindunginya dari neraka
tapi Sita tak merasa berlaku dosa
sekedar menurutkan naluri

Pada geliat sekarat terlompat doa
jangan juga hangus dalam api
sisa mimpi dari sanggama

Pembaca tidak dapat memahami sajak ini tanpa pengetahuan wayang atau cerita Ramayana. Cerita itu merupakan episode akhir dari cerira Rama. Sesudah Rama mengalahkan Rahwana dan membunuhnya, Rahwana raja Alengka  yang mencuri Sinta, maka Rama dapat berjumpa kembali dengan Sita istrinya. Akan tetapi, Rama meragukan kesucian Sinta, betapapun Sita menyatakan bahwa ia tidak pernah terjamah Rahwana. Untuk membuktikan kesuciannya itu Sinta bersedia dibakar, bila terbakar berarti ia pernah dijamah Rahwana, bila tidak terbakar berarti ia masih tetap suci. Dalam cerita wayang memang Sita tidak terbakar karena ditolong oleh dewa sebab memang ia sungguh masih suci, ia selalu menolak bila dirayu oleh Rahwana. Akan tetapi, dalam sajak itu ceritanya dengan sengaja diubah oleh Subagio untuk mengemukakan pikirannya sendiri. Ini menunjukkan ’kreativitas’ subagio sebagai seorang penyair.
Puisi Makassar masih tetap dipakai dalam interaksi dalam lingkungan keluarga khususnya dalam strarata sosial tertentu dan dalam acara ajjangang-jangang (melamar gadis). Ketika remaja mengincar seorang gadis misalnya, secara spontan orangtua menyampaikan pesan lewat puisi, sebagaimana berikut ini.
Teako jalling matai
 anjo tope tassampea.
Nia patanna
Tanakalimbuki mami

Terjemahan

Jangan engkau lirik
Sarung yang tergantung itu
ada yang punya
tinggal menunggu waktu yang tepat

Kemudian puisi tersebut dijawab oleh orang (anak) yang melirik gadis itu, sebagaimana berikut ini.

Susa tongi takujalling
anjo tope tassampea
anjo patanna
tena tompa tantuanna.

Terjemahan

Gundah hati saya
Bila tidak melirik sarung yang tergantung itu
Karena yang empunya
Belum ada kepastian

Keunikan kelong ini adalah karena dianggap memiliki nilai yang sangat tinggi sebagai ekspresi kesantunan dalam interaksi melamar gadis. Sehingga kalau salah menyampaikan biasanya lamaran si pemuda ditolak, karena dianggap kurang sopan. Oleh karena itu, utusan dari pihak laki-laki adalah orang-orang tertentu yang pandai berpuisi, sebelum memasuki acara inti yaitu membicarakan tentang pinangan mereka (Ali, 2009: 13).
Kalindaqdaq, adalah puisi Mandar yang masih banyak digunakan oleh masyarakat pendukungnya, sebagai sastra daerah dan sekaligus sebagai pendukung budaya dalam rangka memperkaya khazanah budaya nasional.
Penggambaran keteguhan pada pendirian suku Bugis menamai siri, suku Makassar menamai sirik na pacce, sementara suku Mandar menamai masiriq. Apabila harga diri atau masiriq itu dilanggar, maka orang akan marah dan berusaha membela dan memertahankan walaupun nyawa taruhannya.
Dalam kalindaqdaq percintaan, harga diri sangat menonjol. Oleh karena itu masiriq  timbul karena persoalan hubungan antara seorang pemuda dan seorang gadis. Untuk lebih jelasnya diperhatikan kalindaqdaq berikut ini.
Muaq diang na maqala
Pandeng pura u tujuq
Apa gunana
Pataeng di reqdeu

Terjemahannya

Bila ada yang akan mengambil
Pandan yang sudah kuikat
Apa gunanya
Senjata tajam di pinggangku

Puisi tersebut menggambarkan sikap seorang laki-laki yang sudah bertunangan dengan seorang gadis pilihannya. Untuk memertahankan kehormatan dirinya, dia membawa sebilah keris sebagai senjatanya apabila ada orang yang mencoba mengganggu gadis pilihannya. Kata panden yang bermakna pandang merupakan simbol seorang gadis.
Demikianlan pemahaman puisi tidak dapat dilepaskan dari latar belakang kemasyarakatan dan budayanya. Sebagaimana uraian Pradopo (2005) bahwa sastrawan itu adalah anggota masyarakat tidak dapat lepas dari pengaruh sosial budaya masyarakatnya. Latar sosial budaya itu terwujud dalam tokoh-tokoh yang dikemukakan, sistem kemasyarakatan, adat-istiadat,  pendangan masyarakat, kesenian, dan benda-benda kebudayaan yang terungkap dalam karya sastra.

B.     Makna simbolik suatu puisi
Puisi ditulis tidak terutama untuk dipahami, melainkan untuk dinikmati. Para sarjana sastra, para kritikus, para penyair, dan mereka yang disebut ahli puisi, mungkin berpendapat lain karena mereka melihat puisi dari lebih banyak sudut pandang. Saya bukan bagian dari golongan itu.
Saya bersentuhan dengan puisi sebagai penikmat. Dengan sendirinya, meskipun saya tidak mengerti puisi tapi bisa menikmati puisi, seperti halnya banyak orang tak mengerti ujung pangkal persoalan musik, dan tak bisa memainkan instrumen musik apa pun, tapi mereka---juga saya---masih bisa menikmati keteraturan dan harmoni bunyi musik, dan makna-makna simbolis yang dikandungnya. Ini karena puisi dan musik bersentuhan bukan dengan akal budi, dan rasionalitas, melainkan lebih dekat dengan dunia batin, dan perasaan manusia.
Puisi bisa dinikmati dengan mata wadak, karena komposisinya yang bagus, misalnya tersusun dalam bentuk segitiga sama kaki, atau segi tiga terbalik. Sebagian dalam komposisi piramida. Selebihnya ada yang tampil dalam bait-bait biasa, yang membuat jiwa kita ikut hanyut dalam plastisitas permainan kata, permainan simbol dan bunyi dan ada kalanya kita mengikuti asosiasi antara kata, bunyi dan makna-makna yang tak jarang telah kita kenal secara akrab.
Ada bahkan puisi yang tak memperlihatkan komposisi, misalnya puisi satu baris kalimat, karya penyair Toba, Sitor Situmorang, berjudul "Malam Lebaran"
Bulan di atas kuburan
Ada pula puisi yang bisa dinikmati dari segi komposisinya yang tak terlalu "lazim", yang merupakan hasil "perjuangan" mencari kebaruan-kebaruan, yang kemudian diikuti banyak penyair lain, seperti dapat dicontohkan pada karya-karya Sutardji Chalzoun Bachri. Sementara itu permainan kata dan bunyi, yang membuat kita mengasosiasikannya dengan kata dan bunyi lain---yang bisa saja tak harus sama dengan apa yang dimaksudkan Tardji sendiri---dapat ditemukan dalam bunyi "ngiau" yang mudah kita terka simbol atau bunyi apa. Patut dicatat bahwa pada dasarnya puisi-puisi Tardji disebut puisi "gelap" : puisi abstrak, simbolik dan tak mudah ditebak maknanya.
"Angin Pun Berbisik": Kumpulan Sajak Cinta, yang ditulis oleh satu keluarga "aneh" yang semuanya penyair--- atau semua berusaha dan mencoba menjadi penyair---ini pula pelan-pelan membawa saya ke satu kenikmatan kenikmatan lain. Ada kenikmatan bunyi, ada kenikmatan kata dan symbol, yang mengikat dan mempertautkan kita dengan perasaan dan pengalaman masa lalu kita. Tapi sebagian dengan jelas mempertautkannya dengan sejarah dan pengalaman masa lalu para penyair ini sendiri.
Sebetulnya saya tak harus mengatakan bahwa sajak bukan lahir dari rindu yang melankolik, dan ketika kita yang sedang rindu itu melihat bulan langsung lahir sebuah sajak. Sajak yang lahir karena melihat bulan, atau menghayalkan bunyi ombak dan watak lautan, biasanya hanya menjadi "sajak-sajakan" yang dangkal dan hampa dari makna. Sajak yang intens selalu lahir dari sejarah kegetiran, dari perjuangan, dan dari makna-makna terdalam, yang menyentuh penghayatan dan dunia nilai di dasar kehidupan manusia.
Sajak "Nisan", karya Chairil Anwar, misalnya, lahir dari kegetiran hidup seorang cucu yang kehilangan sang nenek yang sangat dicintainya. Juga karya Chairil lainnya: "Tak Sepadan" misalnya.
Buku ini memperlihatkan dengan nyata, dan secara simbolik menyiratkan penghayatan dan pengalaman sejarah yang intens di dalam hidup para penyairnya. Tapi saya hanya bisa menampilkan sebagian yang saya tangkap dengan cepat, Ini yang berhubungan dengan kata -kata dan simbol di baliknya;
Kudengar entah suara siapa
Melengking melantunkan doa
( "Angin Pun Berbisik" 4)
Kudengar angin pun berbisik
Hampa mendera di antara kita:
Sepi, dan...
Semakin menggeletar ketika angin berlalu
(Dari judul yang sama, penyair yang sama).
Cinta dan rinduku padamu
Hanya dewa yang menyimpannya
( "Cintaku Padamu").
Namun dalam syair doaku-doaku
Namamu,masih mewarnai guratannya
("Angin Pun Berbisik" 5)

Sajak-sajak ini memberi kenikmatan kita, dan kita diberi kebebasan untuk memaknainya secara subyektif, sesuai dengan batas pengalaman dan penghayatan kita atas hidup, ketakutan, rasa cemas dan doa, yang mungkin membebaskan kita dari rasa takut dan kecematasan itu.
Ataukah doa hanya respons latah? Mengapa doa yang tampil? Usaha mencari pemecahan masalah secara mudah, dan bahkan yang termudah dari semua yang bisa ditempuh manusia? Ataukah doa merupakan cermin kedalaman iman, ketulusan dan kegigihan meluhurkan Tuhan, dan yang akan dengan sendirinya membuat segala masalah lenyap, selesai, dan tuntas?
Saya tak ingin menjawab persoalan-persoalan ini untuk membiarkannya menjadi bagian dari kompleksitas sajak-sajak di dalam buku ini. Selebihnya saya pun merasakan indahnya ungkapan kata-kata di bait-bait terakhir sajak Irwan, dengan judul "Cemburu" 2, berikut;
Sedang rembulan di tanangmu belum jua membelah
Malam untuk dibaringkan
Pada bantal yang selalu basah
Karena air mata tak cukup mengucap cinta
Saya merasakan ungkapan-ungkapan Irwan yang belum pernah saya baca sajaknya sebelum ini, begitu kuat. Namun tentu saja ada yang berakhir lemah, kurang daya dan tak punya gema, mungkin karena salah memilih kata atau ungkapan?
Ia tak punya pilihan
Cinta menjadikannya luruh pada nasibnya;
di mana perempuan selalu menerimanya;
sebagai mimpi yang harus dirajutnya
Saya merasakan ungkapan ini seperti sebuah pidato yang membosankan. Mungkin karena penyairnya belum terlalu terlatih dan masih sibuk melawan gangguan kedangkalannya sendiri?
Siti,Atmamiah, dalam puisi "Gubah" mengingatkan kita pada lagu tahun 1970-an "Blue blue my love is blue", ketika ia berdendang:
Dan langit berubah menjadi puisi
Hidupku
Untuk kau gubah kembali
Dengan biru cintamu
Dalam puisi "Ibu", Siti berkata;
Ibu,
Kupinjam surgamu
Melebar legam tubuhmu
Ia menyampaikan pada kita makna simbolik Ibu sebagai pemilik, atau pembawa (?) surga, sebagaimana kita kenal baik ungkapan" surga di bawah telapak kaki ibu"
Dalam puisi "Kepada Adam", kita disuguhi oleh Siti, penghayatan atas pengalaman sejarah, tapi tanpa kegetiran, tanpa rasa duka. Pengalaman dan sejarah di sini tampil dalam wajah rutinitas yang datar, dan mungkin juga hambar karena tanpa sekeping pun unsur dramatik di dalamnya.
Aku adalah waktu yang rindu
Berbaring dan mengenang
Lembar demi lembar
Cerita lama
Ketika malam tiba-tiba
Menjadi pagi
Tetapi di dalam "Ketika Putri Kecilku Melihat Bulan" kita disuguhi asosiasi yang begitu alamiah melalui cara pandang kanak-kanak;
"Mama, aku melihat bola
Di atas sana
Putih warnanya
Seperti bola mainanku"
Dan Siti pun menjelaskan makna asosiasi yang lain, hening itu identik dengan sujud, atau sebaliknya: sujud adalah momen keheningan.
"Tuhan telah menjaganya
Dan heningnya itu
Adalah sujudnya"
Dalam "Angin" kita simak uangkapan Zeffa mengenai angin sebagai nada indah dan suara merdu' yang terasa seperti sebuah reportase jurnalistik.
Angin..
Tidak akan pernah habis, ceritamu
Setiap hari berlari denganku
Nada indah dan suara merdu
Untuk alam dan teman-temanku
Dalam puisi "Pasar" Zeffa memberi kita sebuah metafora' Pasar
Banyak orang bertukar barang
Sedikit orang bertukar senyum
Seorang anak ingin membeli senyum
Tapi tak ada yang menjual senyum
Sedihnya..
Dan kita pun dibuatnya berpikir, bahwa pasar, dunia ekonomi yang memang angkuh, yang menghormati manusia, dan menentukan derajatnya sesuai dengan jumlah kekayaan (uang) yang dimilikinya, memang tak pernah merasa perlu tersenyum.
Kita belajar dari puisi Zeffa bahwa banyak hal bisa dibeli. Tapi senyum tidak. Di sini, sekali lagi, saya menikmati kaitan antara permainan kata, simbol dan bunyi, dan asosiasi antara makna suatu kata dengan suatu jenis bunyi, Saya dan buku puisi ini berdialog dan saling melengkapi. Saya bersyukur sempat meluangkan waktu untuk menikmati indahnya kata, symbol, bunyi dan asosiasi, yang seolah berloncatan secara dinamik dalam dunia nilai yang tak kasat mata.





BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Menurut Teeuw (1983) untuk dapat memberikan makna sepenuhnya kepada sebuah sajak, analisis tidak dapat dilepaskan dari latar belakang kemasyarakatan dan budanyanya. Karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya (Abrams, 1981). Hal ini mengingat bahwa sastrawan itu adalah anggota masyarakat, maka ia tidak dapat lepas darinya. Latar sosial budaya itu terwujud dalam karakter tokoh-tokoh yang dikemukakan, sistem kemasyarakatan, adat-istiadat, pandangan masyarakat, kesenian, dan benda-benda kebudayaan yang terungkap dalam karya sastra.
Puisi ditulis tidak terutama untuk dipahami, melainkan untuk dinikmati. Para sarjana sastra, para kritikus, para penyair, dan mereka yang disebut ahli puisi, mungkin berpendapat lain karena mereka melihat puisi dari lebih banyak sudut pandang. Saya bukan bagian dari golongan itu.
B.     Saran
Setiap karya sastra akan mengandung yang namanya unsur intrinsik serta ekstrensik didalamnya. Unsur Ekstrensik itu terdapat sosial budaya didalamnya. Setiap karya sastra jangan sampai melenceng dari nilai-nilai yang terkandung serta tidak mengandung unsur sara serta menyindir pihak lain.



DAFTAR PUSTAKA
Kusmayadi, ismail. 2007. Think Smart Bahasa Indonesia Kelas XII. Bandung : Grafindo Media Pratama.
Damayanti, Dewi. 2012. Buku Pintar UN SMP 2013. Jakarta : Cmedia








Makalah Fonologi | Pola Struktural Fonemik Satuan Lingual


BAB I
PENDAHULUAN

Bahasa atau language merupakan produksi dari alat-alat bicara manusia (Organ of speech) diguanakan sebagai alat untuk berkomunikasi dan `berinteraksi. Bahasa mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan ini. Bloomfield berkata language plays agreat part in our live (1935:3). Fakta menunjukkan bahwa manusia dapat saja menggunakan alat komunikasi lain selain bahasa. Namun, bahasa verbal tetap merupakan alat komunikasi yang paling baik dan sempurna.
Secara etimologi kata fonologi berasal dari gabungan kata fon yang berarti ‘bunyi’ dan logi yang berarti ‘ilmu’. Sebagai sebuah ilmu, fonologi lazim diartikan sebagai bagian dari kajian linguistik yang mempelajari, membahas, membicarakan, dan menganalisis bunyi-bunyi bahasa yang diproduksi oleh alat-alat ucap manusia. Bila kita mendengar suara orang berbicara entah berpidato atau bercakap-cakap, maka akan kita dengar runtunan bunyi-bunyi bahasa yang terus menerus (Abdul Chaer, 2013: 1).
Secara populer orang sering menyatakan bahwa fonologi adalah ilmu yang mempelajari tentang huruf, atau ilmu yang menjadikan huruf sebagai objek kajian. Ada beberapa buku yang mungkin rumusannya agak berbeda tetapi bahwa bahasa menjadi kajian, kiranya tidak perlu diperdebatkan lagi.
           
          Oleh sebab itu, studi atau kajian struktural fonemik sangat penting karena dapat memberikan pemahaman mengenai bahasa itu sebagai satu-satunya alat komunikasi yang paling baik dan sempurna. Kajian bahasa ada yang bersifat mikro/ mikrolinguistik dan ada yang bersifat makro/ makrolinguistik, dengan kata lain ada kajian bahasa secara internal dan kajian bahasa eksternal.
           
BAB II
Pola Struktural Fonemik Satuan Lingual

A.     Pengertian Fonemik
Fonemik adalah kajian atau analisa bunyi bahasa dengan memperhatikan status-Nya sebagai pembeda makna. Bunyi bahasa yang diucapkan oleh manusia akan memiliki pembeda makna pada setiap bunyi bahasa-Nya (Abdul Chaer, 2013: 62).
Ada beberapa pengertian fonemik menurut para ahli diantaranya, Menurut Verhaar, Fonemik adalah bidang khusus dalam linguistik yang mengamati bunyi-bunyi suatu bahasa tertentu menurut fungsinya untuk membedakan leksikal dalam bahasa (Verhaar, 1982: 36). Sedangkan menurut Abdul Chaer, Fonemik adalah cabang kajian fonologi yang mengkaji bunyi-bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsinya sebagai pembeda makna (Abdul Chaer, 2013: 62).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa bunyi-bunyi dalam bahasa dapat membedakan makna dan pengucapan bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi tersebut berfungsi sebagai pembeda makna kata atau tidak.
Dalam bahasa indonesia fonemik (i) setidak-Nya mempunyai empat dua alofon, yaitu : Bunyi (i) seperti dalam kata cita, bunyi (i) seperti pada kata tarik, bunyi (i) seperti kata ingkar, dan bunyi (i) seperti kata kali.
Fonem-fonem yang berupa bunyi, yang didapat sebagai segmentasi terhadap arus ujaran disebut fomen segmental. Sebalik-Nya fonem yang berupa unsur suprasegmental disebut fonem suprasegmental atau fonem nonsegmental.

Unsur suprasegmental tampak-Nya tidak fonemik maupun morfemis; namun, intonasi mempunyai peranan pada tingkat sintaksis. Umpama-Nya kalimat dia membaca komik dengan tekanan pada kata dia berarti yang membaca bukan orang lain, dengan tekanan pada kata membaca berarti dia bukan menulis atau menjual komik, dan dengan tekanan pada kata komik berarti yang dibaca bukan koran (Abdul Chaer, 2013: 68).
Fonem-fonem dalam bahasa indonesia :
1.      Fonem Vokal
Fonem vokal adalah yang dihasilkan udara yang keluar dari paru-paru dengan tidak mendapatkan hambatan. Jenis vokal ditentukan oleh posisi bibir, tinggi rendah-Nya lisah dan maju mundur-Nya lidah (Abdul Chaer, 2013: 68). Contoh-Nya :
a.       /a/ vokal depan, rendah, tak bundar.
b.      /i/ vokal depan, tinggi, tak bundar.
c.       /u/ vokal belakang, atas, bundar.
d.      /e/ vokal depan, sedang, atas, tak bundar.
e.       /o/ vokal belakang, sedang, bundar.
( Abdul Chaer, 2013: 39) Bunyi-bunyi vokal dapat diklasifikasikan menurut :
a.       Tinggi rendahnya posisi lidah
Berdasarkan tinggi rendahnya posisi lidah bunyi-bunyi vokal dapat dibedakan atas:
1)     Vokal tinggi atas, seperti bunyi [i] dan [u];
2)     Vokal tinggi bawah, seperti bunyi [I] dan [U];
3)     Vokal sedang atas, seperti bunyi [e] dan [o];
4)     Vokal sedang bawah, seperti bunyi [ɛ] dan [⊃];
5)     Vokal sedang tengah, seperti bunyi [∂];
6)     Vokal rendah, seperti bunyi [a];
b.      Maju mundurnya lidah
Berdasarkan maju mundurnya lidah bunyi vokal dapat dibedakan atas:
1)     Vokal depan, seperti bunyi [i], [e], dan [a];
2)     Vokal tengah, seperti bunyi [∂];
3)     Vokal belakang, seperti bunyi [u] dan [o];
c.       Striktur
Striktur pada bunyi vokal adalh jarak antara lidah dengan langit-langit keras (palatum). Maka berdasarkan strikturnya bunyi vokal dapat dibedakan menjadi: (Abdul Chaer: 2013: 41)
1)     Vokal tertutup, yang terjadi apabila lidah diangkat setinggi mungkin mendekati langit-langit, seperti bunyi [i] dan bunyi [u];
2)     Vokal semi tertutup, yang terjadi apabila lidah diangkat dalam ketinggian sepertiga dibawah vokal tertutup, seperti bunyi [e], bunyi [∂], dan bunyi [o];
3)     Vokal semi terbuka, yang terjadi apabila lidah diangkat dalam ketinggian sepertiga diatas vokal yang paling rendah, seperti bunyi [ɛ] dan [⊃];
4)     Vokal terbuka, yang terjadi apabila lidah berada dalam posisi serendah mungkin, seperti bunyi [a];

d.      Bentuk mulut
Berdasarkan bentuk mulut sewaktu bunyi vokal itu diproduksi dapat dibedakan: (Abdul Chaer: 2013: 41)
1)     Vokal bundar, yaitu vokal yang diucapkan dengan bentuk mulut membundar. Dalam hal ini ada yang bundar terbuka seperti bunyi [⊃], dan yang bundar tertutup seperti bunyi [o] dan bunyi [u];
2)     Vokal tak bundar, yaitu vokal yang diucapkan dengan bentuk mulut tak membundar, melainkan terbentang melebar, seperti bunyi [i], bunyi [e], dan bunyi [ɛ];
3)     Vokal netral, yaitu vokal yang diucapkan dengan bentuk mulut tidak bundar dan tidak melebar, seperti bunyi [a];
Berdasarkan empat kriteria yang dibicarakan tersebut, maka nama-nama vokal dapat disebutkan sebagai berikut: ( Abdul Chaer, 2013: 42)
[i] adalah vokal depan, tinggi (atas), tak bundar, tertutup.
[I] adalah vokal depan, tinggi (bawah), tak bundar, tertutup.
[u] adalah vokal belakang, tinggi (atas), bundar, tertutup.
[U] adalah vokal belakang, tinggi (bawah), bundar, tertutup.
[e] adalah vokal depan, sedang (atas), tak bundar, semi tertutup.
[ɛ] adalah vokal depan, sedang (bawah), tak bundar, semi terbuka.
[∂] adalah, vokal tengah, sedang, tak bundar, semi tertutup.
[o] adalah vokal belakang, sedang (atas), bundar, semi tertutup
[⊃] adalah vokal belakang, sedang (bawah), bundar, semi terbuka.
[a] adalah vokal belakang, rendah, netral, terbuka.
2.      Fonem Diftong
Fonem diftong adalah diftong/ay,diftong/aw/, dan diftong/oy/. Ketiga-Nya dapat dibuktikan dengan pasangan minimal (Abdul Chaer, 2013: 69). Diftong naik, terjadi jika vokal yang kedua diucapkan dengan posisi lidah menjadi lebih tinggi dari pada yang pertama Contoh-Nya :
a.       /ay/ gulai x gula (gulay x gula). Diftong /aw/ dapat menduduki posisi awal dan posisi akhir, seperti tampak pada contoh : aula [awla] dan pulau [pulaw]. Tidak dapat menduduki posisi tengah;
b.      /aw/ pulau x pula (pulaw x pula). Diftong /ay/ hanya menduduki posisi akhir, seperti pada kata [pantay] dan [landay]. Tidak dapat menduduki posisi awal dan posisi tengah;
c.       /oi/ sekoi x seka (sakoi x seka). Diftong /oy/ hanya menduduki posisi akhir, seperti tampak pada kata [sakoy] dan [amboy]. Tidak menduduki posisi awal dan posisi tengah;
3.      Fonem Konsonan
Fonem konsonan adalah bunyi yang timbul akibat udara yang keluar dari paru-paru melalui rongga mulut atau rongga hidung (Abdul Chaer, 2013: 70).
Nama-nama fonem konsonan bahasa indonesia adalah :
a        /b/ konsonan bilabial, hambat, bersuara;
b        /p/ konsonan bilabial, hambat, tak bersuara;
c         /m/ konsonan bilabial, nasal;
d        /w/ konsonan bilabial, semi vokal;
e        /f/ konsonan labiodental, geseran, tak bersuara;
f          /d/ konsonan apikoalveolar, hambat, bersuara;
g        /t/ konsonan apikoalveolar, hambat, tak bersuara;
h        /n/ konsonan apikoalveolar, nasal;
i          /  / konsonan apikoalveolar, sampingan;
j          /r/ konsonan apikoalvolaer, getar;
k        /z/ konsonan laminoalvolar, geram, bersuara;
l          /s/ konsonan laminoalveolar, geseran, tak bersuara;
m      /ʃ/ konsonan laminopalatal, geseran, bersuara;
n        /ñ/ konsonan laminopalatal, nasal;
o        /j/ konsonan laminopalatal, paduan, bersuara;
p        /c/ konsonan aminopalatal, paduan, tak bersuara;
q        /y/ konsonan laminopalatal, semo vokal;
r         /g/ konsonan dorsovelar, hambat, bersuara;
s         /k/ konsonan dorsovelar, hambat, tak bersuara;
t          /ᶇ/ konsonan dorsovelar, nasal;
u        /x/ konsonan dorsovelar, geseran, bersuara;
v        /h/ konsonan laringal, geseran bersuara;
w      /?/ konsonan glotal, hambat;

B.     Pola Struktural Fonemik

Satuan kebahasaan berkaitan dengan bentuk dan makna. Bentuk satuan kebahasaan berupa deret bunyi bahasa. Bentuk tersebut bersifat acak atau arbitrer. Sementara itu makna suatu satuan kebahasaan bersifat linier atau tetap. Misalnya untuk mengungkapkan makna ‘lembaran-lembaran kertas yang terjilid, dapat berisi tulisan atau kosong’ dapat digunakan bentuk buku atau bisa juga dengan bentuk book atau bentuk lain dari berbagai bahasa.
Makna di atas bersifat tetap tetapi bentuk untuk mengungkapkan makna tersebut acak atau tidak tetap. Satuan kebahasaan tersebut dapat dibagi menjadi dua yaitu satuan kebahasaan yang belum memiliki makna atau satuan fonologis dan satuan kebahasaan yang yang bermakna atau satuan gramatikal. Yang termasuk satuan fonologis adalah fona atau bunyi, fonem, dan silabel atau suku kata.

                     1.         Fona
Fona adalah bunyi bahasa yang terdiri atas bunyi vokal dan bunyi konsonan ( Harimurti Kridalaksana, 2008: 62). Simbol atau lambang bunyi bahasa adalah huruf. Dalam Bahasa Indonesia terdapat 26 huruf dimulai dengan huruf a s.d. huruf z. Fon dapat dikatakan pula bunyi bahasa (bahasa Inggris: speech sound) atau fon adalah satuan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap. Dalam fonologi, bunyi bahasa diamati sebagai fonem.
Fona merupakan satuan bahasa yang bersifat konkret. Fon itu dapat didengar dan dapat diucapkan. Karena itu, di samping fon, digunakan juga istilah bunyi. Kata kain dalam bahasa Indonesia misalnya, merupakan kata yang mengandung empat fon, yakni (k), (a), (i), dan (n), jika fon-fon itu diidentifikasi secara analitis.
Perlu diperhatikan bahwa fon berbeda dengan huruf. Fon adalah bunyi, sedangkan huruf adalah symbol grafis bunyi. Jumlah fon dan jumlah huruf tidak selalu paralel. Kata senyampang dalam bahasa Indonesia mengandung tujuh fon, yakni (s), (e), (n), (a), (m), (p), dan (n). Akan tetapi, kata tersebut bahwa fon tidak identik dengan bunyi. Memang ada kata yang jumlah fonnya sama dengan huruf yang terdapat pada kata itu, seperti yang tampak pada kata itu. Akan tetapi, secara prinsip fon adalah maujud yang berbeda dengan huruf.
Fona atau bunyi bahasa adalah satuan bunyi yang dihasilkan alat ucap manusia dan diamati dalam fonetik sebagai fon atau dalam fonologi fonem. Ada dua jenis bunyi bahasa yaitu vokoid yaitu bunyi yang dihasilkan dengan arus udara yang tidak mengalami rintangan. Fon adalah realisasi dari fonem (parole), atau bunyi yang diartikulasikan (diucapkan) misalnya {lari}.
                     2.         Fonem
Fonem adalah satuan bunyi terkecil yang mampu menunjukkan kontras makna. Misalnya dalam Bahasa Indonesia /h/ adalah fonem, karena membedakan makan kata harus dan arus; /b/ dan /p/ adalah dua fonem yang berbeda karena bapa dan papa berbeda maknanya. Fonem merupakan abstraksi, sedangkan wujud fonetisnya tergantung beberapa faktor, terutama posisinya dalam hubungan dengan bunyi lain. Salah satu cara menentukan sebuah fonem dalam sebuah sistem bahasa adalah dengan pasangan minimal (Harimurti Kridalaksana, 2008: 62).
Pasangan minimal adalah dua buah kata yang memiliki satu bunyi yang berbeda. Misalnya kata tali dan tari. Dalam kedua kata tersebut terapat dua bunyi berbeda yaitu [l] dan [r]. Dengan demikian bunyi [l] dan [r] dalam bahasa Indonesia adalah fonem.
Misalnya [a], [i], [e], dsb. Jenis yang kedua adalah kontoid yaitu bunyi yang dihasilkan dengan arus udara yang mengalami rintangan atau hambatan. Misalnya [p], [r], [t], dsb .
Fonem merupakan satuan bahasa terkecil yang bersifat abstrak dan mampu menunjukkan kontras makna atau abstraksi dari satu atau sejumlah fon, entah vokal maupun konsonan (Harimurti Kridalaksana, 2008: 62). Karena bersifat abstrak, fonem bukanlah satuan bahasa yang tidak nyata, bukan maujud yang dapat diindera. Dalam kata rokok, misalnya, terdapat empat fon, tetapi empat fon itu sebenarnya merupakan realisasi tiga fonem, yakni /r/, /o/, dan /k/. Dalam kata itu pula terdapat bunyi (k) yang sebenarnya merupakan realisasi fonem /o/. Hanya karena lingkungan berdistribusinya, fonem /o/ itu direalisasikan menjadi (k).
Memang banyak versi mengenai definisi atau konsep fonem. Namun, intinya adalah satu kesatuan bunyi terkecil yang dapat membedakan makna kata. Bagaimana kita tahu sebuah bunyi adalah fonem atau bukan fonem. Banyak cara dan prosedur telah dikemukakan oleh berbagai pakar. Namun, intinya adalah kalau kita ingin mengetahui sebuah bunyi adalah fonem atau bukan, kita harus mencari yang disebut pasangan minimal atau minimal pair, yaitu dua buah bentuk yang bunyinya mirip dan hanya sedikit berbeda. Umpamanya kita inginmengetahui bunyi [p] fonem atau bukan, maka kita cari, misalnya pasangan kata paku dan baku. Kedua kata ini mirip sekali. Masing-masing terdiri dari empat bunyi. Kata paku terdiri dari bunyi [p], [a], [k], dan [u]; sedangkan kata baku terdiri dari bunyi [b], [a], [k], dan [u]. jadi, pada pasangan paku dan baku terdapat tiga buah bunyi yang sama, yaitu bunyi kedua, ketiga dan keempat. Yang berbeda hanya bunyi pertama, yaitu bunyi [p] pada kata paku dan bunyi [b] pada kata baku.
Dengan demikian, kita sudah dapat membuktikan bahwa bunyi [p] dalam bahasa Indonesia adalah sebuah fonem. Mengapa? Karena kalau posisinya diganti oleh bunyi [b], maka maknanya akan berbeda. Sebagai sebuah fonem, bunyi [p] itu ditulis di antara dua garis miring menjadi /p/.
Apakah bunyi [b] pada pada pasangan kata paku dan baku itu juga sebuah fonem? Dengan sendirinya, bunyi [b] itu juga adalah sebuah fonem, karena kalau posisinya diganti oleh bunyi [p] atau bunyi [I] menjadi laku, maknanya juga akan berbeda.
Untuk membuktikan sebuah bunyi adalah
fonem atau bukan dapat juga digunakan pasangan minimal yang salah satu angotanya “rumpang”. Artinya, jumlah bunyi pada anggota pasangan yang rumpang itu kekurangan satu bunyi dari anggota yang utuh. Misalnya, untuk membuktikan bunyi [h] adalah fonem atu bukan kita dapat mengambil pasangan [tuah] dan [tua]. Bentuk [tuah] memiliki empat buah bunyi, sedangkan bentuk [tua] hanya memiliki tiga  buah bunyi. Maka, kalau bunyi [h] itu ditanggalkan, makna kata itu akan berbeda. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bunyi [h] adalah sebuah fonem [h].
Susunan Fonem Jumlah Fonem Susunan Huruf Jumlah Huruf Kata yang terbentuk
/adik/ 4 adik 4 adik
/inat/ 4 ingat 5 ingat
/nani/ 4 nyanyi 6 nyanyi
/pantay/ 6 pantai 6 pantai

32 Fonem resmi bahasa Indonesia :
a.       6 buah fonem vokal : /a/, /i/, /u/, /e/,/o/, /?/.
b.      buah fonem diftong : /oy/, /ay/, dan /ou/.
c.       23 buah fonem konsonan : /p/, /b/, /m/, /t/, /d/, /n/, /c/, /j/, /n/, /k/, /g/, /n/, /y/, /r/, /l/, /w/, /s/, /s/, /t/, /f/, /h/, /x/, dan /?/.
Selanjutnya, fonem-fonem ini akan membentuk satuan, yaitu saku kata. Suku kata dapat diidentifikasi dengan jalan mengidentifikasi vokalnya karena fonem vokal merupakan puncak sonoritas (kenyaringan).
Bentuk Fonem
Struktur Suku Kata
a.       KVKKK Korps;
b.      KKVKK Pleks , pada kata kompleks;
c.       KKKVK Struk, pada kata struktur;
d.      KKKV Stra, pada kata strategi;
e.       KVKK Teks, pada kata tekstil;
f.        KKVK Spon, p`da kata spontan;
g.       KKV Gra, pada kata granat;
h.      KV Ku, Di, Ti, dll;
i.         VK il, in pada kata ilmu-indah;
j.         V I, a, o, u, e;
                     3.         Silabel
Silabel atau suku kata itu adalah satuan ritmis terkecil dalam suatu arus ujaran atau runtutan bunyi ujaran. Satu silabel biasanya meliputi satu vokal, atau satu vokal dan satu konsonan atau lebih. Silabel sebagai satuan ritmis mempunyai puncak kenyaringan atau sonoritas yang bisanya jatuh pada sebuah vokal. Kenyaringan atau sonoritas, ynag menjadi puncak silabel, terjadi karena adanya ruang resonansi berupa rongga mulut, rongga hidung, atau rongga-rongga lain, didalam kepala dan dada (Abdul Chaer, 2014: 123).
Dalam kamus linguistik, silabel atau suku kata dapat dilihat dari tiga sudut pandang yaitu sudut fisiologi, artikulasi, dan fonologi. Dari sudut fisiologi, suku kata adalah ujaran yang terjadi dalam satu denyut yakni pada satu penegasan otot pada waktu penghembusan udara dari paru-paru. Dari sudut artikulasi, silabel adalah regangan ujaran yang terjadi dari satu puncak kenyaringan di antara dua unsur yang tak berkenyaringan.
Dari sudut fonologi silabel adalah struktur yang terjadi dari satu fonem atau urutan fonem bersama dengan ciri lain seperti kepanjangan atau tekanan (Harimurti Kridalaksana, 2008: 221). Contoh silabel:
Kata kaki berasal dari suku kata ka- dan -ki.
Kata tangan berasal dari suku kata ta- dan -ngan.
Kata makan berasal dari suku kata ma- dan –kan tetapi.
Kata makanan berasal dari suku kata ma- ka- dan –nan.

                     4.         Grafem (grapheme)
Grafem adalah satuan terkecil yang distingtif dalam suatu sistem aksara (Harimurti kridalaksana, 2008: 73). Lambang huruf, grafem merujuk ke huruf atau gabungan huruf sebagai atuan pelambang fonem di dalam satu ejaan. Contoh : kata tanggal terdiri dari tujuh huruf, yaitu t-a-n-g-g-a-l, tetapi grafemnya hanya enam, yaitu <t>, <a>, <ng>, <g>, <a>, <l>.
Mengingat grafem itu adalah pelambangan dari fonem maka unsur-unsur segmental dan suprasegmental fonem itu pun akan terlihat dalam grafem. Unsur-unsur itu secara keseluruhan adalah vokal, konsonan, nada, dan jeda. Maka grafemnya akan sesuai penulisannya seperti bunyi yang dihasilkan oleh fonem. Contoh fonem vokal /a/ maka grafemnya adalah <a> (Abdul Chaer, 2014: 137).


































BAB III
PENUTUP

A.     Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas kami dapat menyimpulkan pengertian fonemik yaitu Fonemik adalah kajian atau analisa bunyi bahasa dengan memperhatikan status-Nya sebagai pembeda makna. Bunyi bahasa yang diucapkan oleh manusia akan memiliki pembeda makna pada setiap bunyi bahasa-Nya.
Selain itu kita juga dapat menyimpulkan struktur satuan bahasa mulai dari Fon, Fonem, Silabel, dan Grafem. Yang masing-masing mempunyai  arti dan penjelasan yang berbeda-beda satu sama lain.
B.     Saran
Bahasa yang baik adalah bahasa yang dapat digunakan sesuai kaidah kebahasaan. Maka dari itu kita harus mematuhi kaidah bahasa dengan baik supaya kita dapat menggunakan bahasa yang baik dengan benar.












Daftar Pustaka


Chaer Abdul. 2014. Linguistik Umum (edisi 4). Jakarta : Rineka Cipta.
Chaer Abdul. 2013. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta
Chaer Abdul. 2014. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta
Kridalaksana Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta:  Gramedia
Pustaka Utama
Kridalaksana Harimurti, 2008. Kamus Linguistik (Edisi 4). Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.