MAKALAH
“Menganalisis latar belakang sosial budaya dalam puisi
serta makna simbolik sebuah puisi”
Oleh :
mila amalya munir : 105331114216
TIARA OCTORA :
105331114116
Nurfuadah Rahman : 105331111816
Agus :
105331111716
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
MAKASSAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN
ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
oktober, 2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaiakan makalah yang berjudul “Analisis
latar belakang sosial budaya dalam puisi serta makna simbolik sebuah puisi”. Salawat serta salam kami curahkan
kepada Nabi Muhammad saw sebab ia telah membawa kita dari jalan yang gelap
menuju ke jalan yang terang benderam. Makalah ini meskipun
banyak rintangan dan hambatan yang kami alami dalam proses pengerjaannya, tapi
kami berhasil menyelesaikannya dengan baik.
Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah
membantu kami dalam mengerjakan makalah ini. Kami juga mengucapkan terima kasih
kepada teman-teman mahasiswa yang juga sudah memberi kontribusi baik langsung
maupun tidak langsung dalam pembuatan makalah ini.
Tentunya ada hal-hal yang ingin kami berikan kepada masyarakat tentang isi
dari makalah ini. Karena itu kami berharap semoga makalah ini dapat menjadi
sesuatu yang berguna bagi kita bersama. Pada bagian akhir, kami akan
mengulas tentang berbagai masukan dan pendapat dari orang-orang yang ahli
di bidangnya, karena itu kami harapkan hal ini juga dapat berguna bagi
kita bersama. Semoga makalah yang kami buat ini dapat membuat kita mencapai
kehidupan yang lebih baik lagi.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Menurut
Teeuw (1983) untuk dapat memberikan makna sepenuhnya kepada sebuah sajak,
analisis tidak dapat dilepaskan dari latar belakang kemasyarakatan dan
budanyanya. Karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak
terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada
zamannya (Abrams, 1981). Hal ini mengingat bahwa sastrawan itu adalah anggota
masyarakat, maka ia tidak dapat lepas darinya.
Untuk
memahami dan memberi makna sajak yang ditulis oleh penyair Sunda, Bali, Jawa,
Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja (Sulawesi Selatan) diperlukan pengetahuan
tentang latar belakang sosial-budayanya yang melatarinya. Misalnya untuk
memahami sajak Linus Suryadi yang berlatar budaya wayang, maka pembaca harus
mengetahui wayang. Dalam ”Asmaradana” diceritakan episode cerita Ramayana.
Puisi ditulis tidak terutama untuk dipahami, melainkan untuk dinikmati.
Para sarjana sastra, para kritikus, para penyair, dan mereka yang disebut ahli
puisi, mungkin berpendapat lain karena mereka melihat puisi dari lebih banyak
sudut pandang. Saya bukan bagian dari golongan itu.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Menganalisis latar belakang sosial budaya dalam Puisi?
2.
Menjelaskan makna simbolik sebuah puisi?
C.
Tujuan Penelitian
Mengetahui latar belakang sosial budaya dalam
puisi serta makna simbolik sebuah karya puisi.
BAB I I
PEMBAHASAN
A.
Analisis latar belakang sosial budaya dalam puisi
Menurut Teeuw (1983) untuk dapat memberikan makna
sepenuhnya kepada sebuah sajak, analisis tidak dapat dilepaskan dari latar
belakang kemasyarakatan dan budanyanya. Karya sastra itu mencerminkan
masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan
masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya (Abrams, 1981). Hal ini
mengingat bahwa sastrawan itu adalah anggota masyarakat, maka ia tidak dapat
lepas darinya. Latar sosial budaya itu terwujud dalam karakter tokoh-tokoh yang
dikemukakan, sistem kemasyarakatan, adat-istiadat, pandangan masyarakat,
kesenian, dan benda-benda kebudayaan yang terungkap dalam karya sastra.
Untuk memahami dan memberi makna sajak yang
ditulis oleh penyair Sunda, Bali, Jawa, Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja
(Sulawesi Selatan) diperlukan pengetahuan tentang latar belakang
sosial-budayanya yang melatarinya. Misalnya untuk memahami sajak Linus Suryadi
yang berlatar budaya wayang, maka pembaca harus mengetahui wayang. Dalam
”Asmaradana” diceritakan episode cerita Ramayana.
Asmaradana adalah nama sebuah tembang Jawa yang berisi
cerita percintaan. Sita dibakar untuk membuktikan kesuciannya, belum terjamah
oleh Rahwana yang mencurinya dari Rama suami Sita. Namun dalam sajak
”Asmaradana” ini cerita diubah oleh Subagio, yaitu Sita memang melakukan
sanggama dengan raksasa (Rahwana) yang melarikannya. Untuk mengemukakan
pandangan atau pendapat penyair sendiri bahwa manusia itu tidak dapat terlepas
dari nalurinya. Dalam cerita Ramayana (wayang), Sinta dibakar di api suci tidak
terbakar, ini membuktikan kesuciannya. Untuk lebih jelasnya analisis sajak
berdasarkan latar belakang sosial-budaya, dapat diperhatikan berikut ini.
Asmaradana
Sita di
tengah nyala api
tidak
menyakal
betapa indahnya cinta birahi
Raksasa
melarikannya ke hutan
begitu
lebat bulu jantannya
dan
Sita menyerahkan diri
Dewa
tak melindunginya dari neraka
tapi
Sita tak merasa berlaku dosa
sekedar
menurutkan naluri
Pada
geliat sekarat terlompat doa
jangan
juga hangus dalam api
sisa
mimpi dari sanggama
Pembaca tidak dapat memahami sajak ini tanpa
pengetahuan wayang atau cerita Ramayana. Cerita itu merupakan episode akhir
dari cerira Rama. Sesudah Rama mengalahkan Rahwana dan membunuhnya, Rahwana
raja Alengka yang mencuri Sinta, maka
Rama dapat berjumpa kembali dengan Sita istrinya. Akan tetapi, Rama meragukan
kesucian Sinta, betapapun Sita menyatakan bahwa ia tidak pernah terjamah
Rahwana. Untuk membuktikan kesuciannya itu Sinta bersedia dibakar, bila
terbakar berarti ia pernah dijamah Rahwana, bila tidak terbakar berarti ia
masih tetap suci. Dalam cerita wayang memang Sita tidak terbakar karena
ditolong oleh dewa sebab memang ia sungguh masih suci, ia selalu menolak bila
dirayu oleh Rahwana. Akan tetapi, dalam sajak itu ceritanya dengan sengaja
diubah oleh Subagio untuk mengemukakan pikirannya sendiri. Ini menunjukkan
’kreativitas’ subagio sebagai seorang penyair.
Puisi Makassar masih tetap dipakai dalam interaksi dalam lingkungan
keluarga khususnya dalam strarata sosial tertentu dan dalam acara ajjangang-jangang (melamar gadis).
Ketika remaja mengincar seorang gadis misalnya, secara spontan orangtua
menyampaikan pesan lewat puisi, sebagaimana berikut ini.
Teako jalling matai
anjo tope tassampea.
Nia patanna
Tanakalimbuki mami
Terjemahan
Jangan engkau lirik
Sarung yang tergantung itu
ada yang punya
tinggal menunggu waktu yang tepat
Kemudian puisi tersebut dijawab oleh orang (anak) yang melirik gadis itu,
sebagaimana berikut ini.
Susa tongi takujalling
anjo tope tassampea
anjo patanna
tena tompa tantuanna.
Terjemahan
Gundah hati saya
Bila tidak melirik sarung yang
tergantung itu
Karena yang empunya
Belum ada kepastian
Keunikan kelong ini adalah karena dianggap memiliki nilai yang sangat
tinggi sebagai ekspresi kesantunan dalam interaksi melamar gadis. Sehingga
kalau salah menyampaikan biasanya lamaran si pemuda ditolak, karena dianggap
kurang sopan. Oleh karena itu, utusan dari pihak laki-laki adalah orang-orang
tertentu yang pandai berpuisi, sebelum memasuki acara inti yaitu membicarakan
tentang pinangan mereka (Ali, 2009: 13).
Kalindaqdaq, adalah puisi Mandar yang masih banyak digunakan oleh masyarakat
pendukungnya, sebagai sastra daerah dan sekaligus sebagai pendukung budaya
dalam rangka memperkaya khazanah budaya nasional.
Penggambaran keteguhan pada pendirian suku Bugis menamai siri, suku Makassar menamai sirik na pacce, sementara suku Mandar menamai masiriq. Apabila harga diri atau masiriq itu dilanggar, maka orang akan marah dan berusaha membela
dan memertahankan walaupun nyawa taruhannya.
Dalam kalindaqdaq percintaan,
harga diri sangat menonjol. Oleh karena itu masiriq
timbul karena persoalan hubungan
antara seorang pemuda dan seorang gadis. Untuk lebih jelasnya diperhatikan kalindaqdaq berikut ini.
Muaq diang na maqala
Pandeng pura u tujuq
Apa gunana
Pataeng di reqdeu
Terjemahannya
Bila ada yang akan mengambil
Pandan yang sudah kuikat
Apa gunanya
Senjata tajam di pinggangku
Puisi tersebut menggambarkan sikap seorang laki-laki yang sudah bertunangan
dengan seorang gadis pilihannya. Untuk memertahankan kehormatan dirinya, dia
membawa sebilah keris sebagai senjatanya apabila ada orang yang mencoba
mengganggu gadis pilihannya. Kata panden
yang bermakna pandang merupakan simbol seorang gadis.
Demikianlan pemahaman puisi tidak dapat dilepaskan dari latar belakang
kemasyarakatan dan budayanya. Sebagaimana uraian Pradopo (2005) bahwa sastrawan
itu adalah anggota masyarakat tidak dapat lepas dari pengaruh sosial budaya
masyarakatnya. Latar sosial budaya itu terwujud dalam tokoh-tokoh yang
dikemukakan, sistem kemasyarakatan, adat-istiadat, pendangan masyarakat, kesenian, dan
benda-benda kebudayaan yang terungkap dalam karya sastra.
B.
Makna simbolik suatu puisi
Puisi ditulis tidak terutama untuk dipahami, melainkan
untuk dinikmati. Para sarjana sastra, para kritikus, para penyair, dan mereka
yang disebut ahli puisi, mungkin berpendapat lain karena mereka melihat puisi
dari lebih banyak sudut pandang. Saya bukan bagian dari golongan itu.
Saya bersentuhan dengan puisi sebagai penikmat. Dengan
sendirinya, meskipun saya tidak mengerti puisi tapi bisa menikmati puisi,
seperti halnya banyak orang tak mengerti ujung pangkal persoalan musik, dan tak
bisa memainkan instrumen musik apa pun, tapi mereka---juga saya---masih bisa
menikmati keteraturan dan harmoni bunyi musik, dan makna-makna simbolis yang
dikandungnya. Ini karena puisi dan musik bersentuhan bukan dengan akal budi,
dan rasionalitas, melainkan lebih dekat dengan dunia batin, dan perasaan
manusia.
Puisi bisa dinikmati dengan mata wadak, karena
komposisinya yang bagus, misalnya tersusun dalam bentuk segitiga sama kaki,
atau segi tiga terbalik. Sebagian dalam komposisi piramida. Selebihnya ada yang
tampil dalam bait-bait biasa, yang membuat jiwa kita ikut hanyut dalam
plastisitas permainan kata, permainan simbol dan bunyi dan ada kalanya kita
mengikuti asosiasi antara kata, bunyi dan makna-makna yang tak jarang telah
kita kenal secara akrab.
Ada bahkan puisi yang tak memperlihatkan komposisi,
misalnya puisi satu baris kalimat, karya penyair Toba, Sitor Situmorang,
berjudul "Malam Lebaran"
Bulan di
atas kuburan
Ada pula
puisi yang bisa dinikmati dari segi komposisinya yang tak terlalu
"lazim", yang merupakan hasil "perjuangan" mencari
kebaruan-kebaruan, yang kemudian diikuti banyak penyair lain, seperti dapat
dicontohkan pada karya-karya Sutardji Chalzoun Bachri. Sementara itu permainan
kata dan bunyi, yang membuat kita mengasosiasikannya dengan kata dan bunyi
lain---yang bisa saja tak harus sama dengan apa yang dimaksudkan Tardji
sendiri---dapat ditemukan dalam bunyi "ngiau" yang mudah kita terka
simbol atau bunyi apa. Patut dicatat bahwa pada dasarnya puisi-puisi Tardji
disebut puisi "gelap" : puisi abstrak, simbolik dan tak mudah ditebak
maknanya.
"Angin
Pun Berbisik": Kumpulan Sajak Cinta, yang ditulis oleh satu keluarga
"aneh" yang semuanya penyair--- atau semua berusaha dan mencoba
menjadi penyair---ini pula pelan-pelan membawa saya ke satu kenikmatan
kenikmatan lain. Ada kenikmatan bunyi, ada kenikmatan kata dan symbol, yang
mengikat dan mempertautkan kita dengan perasaan dan pengalaman masa lalu kita.
Tapi sebagian dengan jelas mempertautkannya dengan sejarah dan pengalaman masa
lalu para penyair ini sendiri.
Sebetulnya saya tak harus mengatakan bahwa sajak bukan
lahir dari rindu yang melankolik, dan ketika kita yang sedang rindu itu melihat
bulan langsung lahir sebuah sajak. Sajak yang lahir karena melihat bulan, atau
menghayalkan bunyi ombak dan watak lautan, biasanya hanya menjadi
"sajak-sajakan" yang dangkal dan hampa dari makna. Sajak yang intens
selalu lahir dari sejarah kegetiran, dari perjuangan, dan dari makna-makna
terdalam, yang menyentuh penghayatan dan dunia nilai di dasar kehidupan
manusia.
Sajak "Nisan", karya Chairil Anwar,
misalnya, lahir dari kegetiran hidup seorang cucu yang kehilangan sang nenek
yang sangat dicintainya. Juga karya Chairil lainnya: "Tak Sepadan"
misalnya.
Buku ini memperlihatkan dengan nyata, dan secara
simbolik menyiratkan penghayatan dan pengalaman sejarah yang intens di dalam
hidup para penyairnya. Tapi saya hanya bisa menampilkan sebagian yang saya
tangkap dengan cepat, Ini yang berhubungan dengan kata -kata dan simbol di
baliknya;
Kudengar
entah suara siapa
Melengking
melantunkan doa
(
"Angin Pun Berbisik" 4)
Kudengar
angin pun berbisik
Hampa
mendera di antara kita:
Sepi, dan...
Semakin
menggeletar ketika angin berlalu
(Dari judul
yang sama, penyair yang sama).
Cinta dan
rinduku padamu
Hanya dewa
yang menyimpannya
(
"Cintaku Padamu").
Namun dalam
syair doaku-doaku
Namamu,masih
mewarnai guratannya
("Angin
Pun Berbisik" 5)
Sajak-sajak ini memberi kenikmatan kita, dan kita
diberi kebebasan untuk memaknainya secara subyektif, sesuai dengan batas
pengalaman dan penghayatan kita atas hidup, ketakutan, rasa cemas dan doa, yang
mungkin membebaskan kita dari rasa takut dan kecematasan itu.
Ataukah doa hanya respons latah? Mengapa doa yang
tampil? Usaha mencari pemecahan masalah secara mudah, dan bahkan yang termudah
dari semua yang bisa ditempuh manusia? Ataukah doa merupakan cermin kedalaman
iman, ketulusan dan kegigihan meluhurkan Tuhan, dan yang akan dengan sendirinya
membuat segala masalah lenyap, selesai, dan tuntas?
Saya tak ingin menjawab persoalan-persoalan ini untuk
membiarkannya menjadi bagian dari kompleksitas sajak-sajak di dalam buku ini.
Selebihnya saya pun merasakan indahnya ungkapan kata-kata di bait-bait terakhir
sajak Irwan, dengan judul "Cemburu" 2, berikut;
Sedang
rembulan di tanangmu belum jua membelah
Malam untuk
dibaringkan
Pada bantal
yang selalu basah
Karena air
mata tak cukup mengucap cinta
Saya merasakan ungkapan-ungkapan Irwan yang belum
pernah saya baca sajaknya sebelum ini, begitu kuat. Namun tentu saja ada yang
berakhir lemah, kurang daya dan tak punya gema, mungkin karena salah memilih
kata atau ungkapan?
Ia tak punya
pilihan
Cinta
menjadikannya luruh pada nasibnya;
di mana
perempuan selalu menerimanya;
sebagai
mimpi yang harus dirajutnya
Saya merasakan ungkapan ini seperti sebuah pidato yang
membosankan. Mungkin karena penyairnya belum terlalu terlatih dan masih sibuk
melawan gangguan kedangkalannya sendiri?
Siti,Atmamiah,
dalam puisi "Gubah" mengingatkan kita pada lagu tahun 1970-an
"Blue blue my love is blue", ketika ia berdendang:
Dan langit
berubah menjadi puisi
Hidupku
Untuk kau
gubah kembali
Dengan biru
cintamu
Dalam puisi
"Ibu", Siti berkata;
Ibu,
Kupinjam surgamu
Kupinjam surgamu
Melebar
legam tubuhmu
Ia menyampaikan pada kita makna simbolik Ibu sebagai
pemilik, atau pembawa (?) surga, sebagaimana kita kenal baik ungkapan"
surga di bawah telapak kaki ibu"
Dalam puisi
"Kepada Adam", kita disuguhi oleh Siti, penghayatan atas pengalaman
sejarah, tapi tanpa kegetiran, tanpa rasa duka. Pengalaman dan sejarah di sini
tampil dalam wajah rutinitas yang datar, dan mungkin juga hambar karena tanpa
sekeping pun unsur dramatik di dalamnya.
Aku adalah
waktu yang rindu
Berbaring
dan mengenang
Lembar demi
lembar
Cerita lama
Ketika malam
tiba-tiba
Menjadi pagi
Tetapi di
dalam "Ketika Putri Kecilku Melihat Bulan" kita disuguhi asosiasi
yang begitu alamiah melalui cara pandang kanak-kanak;
"Mama,
aku melihat bola
Di atas sana
Putih
warnanya
Seperti bola
mainanku"
Dan Siti pun
menjelaskan makna asosiasi yang lain, hening itu identik dengan sujud, atau
sebaliknya: sujud adalah momen keheningan.
"Tuhan
telah menjaganya
Dan
heningnya itu
Adalah
sujudnya"
Dalam
"Angin" kita simak uangkapan Zeffa mengenai angin sebagai nada indah
dan suara merdu' yang terasa seperti sebuah reportase jurnalistik.
Angin..
Tidak akan pernah habis, ceritamu
Tidak akan pernah habis, ceritamu
Setiap hari
berlari denganku
Nada indah
dan suara merdu
Untuk alam
dan teman-temanku
Dalam puisi
"Pasar" Zeffa memberi kita sebuah metafora' Pasar
Banyak orang
bertukar barang
Sedikit
orang bertukar senyum
Seorang anak
ingin membeli senyum
Tapi tak ada
yang menjual senyum
Sedihnya..
Dan kita pun dibuatnya berpikir, bahwa pasar, dunia
ekonomi yang memang angkuh, yang menghormati manusia, dan menentukan derajatnya
sesuai dengan jumlah kekayaan (uang) yang dimilikinya, memang tak pernah merasa
perlu tersenyum.
Kita belajar dari puisi Zeffa bahwa banyak hal bisa
dibeli. Tapi senyum tidak. Di sini, sekali lagi, saya menikmati kaitan antara
permainan kata, simbol dan bunyi, dan asosiasi antara makna suatu kata dengan
suatu jenis bunyi, Saya dan buku puisi ini berdialog dan saling melengkapi.
Saya bersyukur sempat meluangkan waktu untuk menikmati indahnya kata, symbol,
bunyi dan asosiasi, yang seolah berloncatan secara dinamik dalam dunia nilai
yang tak kasat mata.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Menurut
Teeuw (1983) untuk dapat memberikan makna sepenuhnya kepada sebuah sajak,
analisis tidak dapat dilepaskan dari latar belakang kemasyarakatan dan
budanyanya. Karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak
terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada
zamannya (Abrams, 1981). Hal ini mengingat bahwa sastrawan itu adalah anggota
masyarakat, maka ia tidak dapat lepas darinya. Latar sosial budaya itu terwujud
dalam karakter tokoh-tokoh yang dikemukakan, sistem kemasyarakatan,
adat-istiadat, pandangan masyarakat, kesenian, dan benda-benda kebudayaan yang
terungkap dalam karya sastra.
Puisi ditulis tidak terutama untuk dipahami, melainkan untuk dinikmati.
Para sarjana sastra, para kritikus, para penyair, dan mereka yang disebut ahli
puisi, mungkin berpendapat lain karena mereka melihat puisi dari lebih banyak
sudut pandang. Saya bukan bagian dari golongan itu.
B.
Saran
Setiap karya sastra akan mengandung yang namanya
unsur intrinsik serta ekstrensik didalamnya. Unsur Ekstrensik itu terdapat
sosial budaya didalamnya. Setiap karya sastra jangan sampai melenceng dari
nilai-nilai yang terkandung serta tidak mengandung unsur sara serta menyindir
pihak lain.
DAFTAR PUSTAKA
Kusmayadi, ismail. 2007. Think Smart Bahasa Indonesia Kelas XII. Bandung :
Grafindo Media Pratama.
Damayanti, Dewi. 2012. Buku Pintar UN SMP 2013.
Jakarta : Cmedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar