Kamis, 28 Maret 2019

Makalah | Latar Belakang Sosial Budaya dalam Puisi | Makna Simbolik Puisi


MAKALAH

“Menganalisis latar belakang sosial budaya dalam puisi
serta makna simbolik sebuah puisi”
Oleh :


kelompok 6
                        mila amalya munir                     : 105331114216
                        TIARA OCTORA                                 : 105331114116
                        Nurfuadah Rahman                    : 105331111816
                        Agus                                                   : 105331111716



UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
oktober, 2017



KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaiakan makalah yang berjudul “Analisis latar belakang sosial budaya dalam puisi serta makna simbolik sebuah puisi”. Salawat serta salam kami curahkan kepada Nabi Muhammad saw sebab ia telah membawa kita dari jalan yang gelap menuju ke jalan yang terang benderam. Makalah ini meskipun banyak rintangan dan hambatan yang kami alami dalam proses pengerjaannya, tapi kami berhasil menyelesaikannya dengan baik.
Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah membantu kami dalam mengerjakan makalah ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman mahasiswa yang juga sudah memberi kontribusi baik langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan makalah ini.
Tentunya ada hal-hal yang ingin kami berikan kepada masyarakat tentang isi dari makalah ini. Karena itu kami berharap semoga makalah ini dapat menjadi sesuatu yang berguna  bagi kita bersama. Pada bagian akhir, kami akan mengulas tentang berbagai masukan dan  pendapat dari orang-orang yang ahli di bidangnya, karena itu kami harapkan hal ini juga dapat  berguna bagi kita bersama. Semoga makalah yang kami buat ini dapat membuat kita mencapai kehidupan yang lebih baik lagi.





                                                                                                                                                                                                                                    Penulis




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Menurut Teeuw (1983) untuk dapat memberikan makna sepenuhnya kepada sebuah sajak, analisis tidak dapat dilepaskan dari latar belakang kemasyarakatan dan budanyanya. Karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya (Abrams, 1981). Hal ini mengingat bahwa sastrawan itu adalah anggota masyarakat, maka ia tidak dapat lepas darinya.
Untuk memahami dan memberi makna sajak yang ditulis oleh penyair Sunda, Bali, Jawa, Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja (Sulawesi Selatan) diperlukan pengetahuan tentang latar belakang sosial-budayanya yang melatarinya. Misalnya untuk memahami sajak Linus Suryadi yang berlatar budaya wayang, maka pembaca harus mengetahui wayang. Dalam ”Asmaradana” diceritakan episode cerita Ramayana.
Puisi ditulis tidak terutama untuk dipahami, melainkan untuk dinikmati. Para sarjana sastra, para kritikus, para penyair, dan mereka yang disebut ahli puisi, mungkin berpendapat lain karena mereka melihat puisi dari lebih banyak sudut pandang. Saya bukan bagian dari golongan itu.

B.     Rumusan Masalah
1.      Menganalisis latar belakang sosial budaya dalam Puisi?
2.      Menjelaskan makna simbolik sebuah puisi?

C.    Tujuan Penelitian
Mengetahui latar belakang sosial budaya dalam puisi serta makna simbolik sebuah karya puisi.




BAB I I
PEMBAHASAN

A.    Analisis latar belakang sosial budaya dalam puisi
Menurut Teeuw (1983) untuk dapat memberikan makna sepenuhnya kepada sebuah sajak, analisis tidak dapat dilepaskan dari latar belakang kemasyarakatan dan budanyanya. Karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya (Abrams, 1981). Hal ini mengingat bahwa sastrawan itu adalah anggota masyarakat, maka ia tidak dapat lepas darinya. Latar sosial budaya itu terwujud dalam karakter tokoh-tokoh yang dikemukakan, sistem kemasyarakatan, adat-istiadat, pandangan masyarakat, kesenian, dan benda-benda kebudayaan yang terungkap dalam karya sastra.
Untuk memahami dan memberi makna sajak yang ditulis oleh penyair Sunda, Bali, Jawa, Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja (Sulawesi Selatan) diperlukan pengetahuan tentang latar belakang sosial-budayanya yang melatarinya. Misalnya untuk memahami sajak Linus Suryadi yang berlatar budaya wayang, maka pembaca harus mengetahui wayang. Dalam ”Asmaradana” diceritakan episode cerita Ramayana.
Asmaradana adalah nama sebuah tembang Jawa yang berisi cerita percintaan. Sita dibakar untuk membuktikan kesuciannya, belum terjamah oleh Rahwana yang mencurinya dari Rama suami Sita. Namun dalam sajak ”Asmaradana” ini cerita diubah oleh Subagio, yaitu Sita memang melakukan sanggama dengan raksasa (Rahwana) yang melarikannya. Untuk mengemukakan pandangan atau pendapat penyair sendiri bahwa manusia itu tidak dapat terlepas dari nalurinya. Dalam cerita Ramayana (wayang), Sinta dibakar di api suci tidak terbakar, ini membuktikan kesuciannya. Untuk lebih jelasnya analisis sajak berdasarkan latar belakang sosial-budaya, dapat diperhatikan berikut ini.


Asmaradana
Sita di tengah nyala api
tidak menyakal
betapa indahnya cinta birahi
Raksasa melarikannya ke hutan
begitu lebat bulu jantannya
dan Sita menyerahkan diri

Dewa tak melindunginya dari neraka
tapi Sita tak merasa berlaku dosa
sekedar menurutkan naluri

Pada geliat sekarat terlompat doa
jangan juga hangus dalam api
sisa mimpi dari sanggama

Pembaca tidak dapat memahami sajak ini tanpa pengetahuan wayang atau cerita Ramayana. Cerita itu merupakan episode akhir dari cerira Rama. Sesudah Rama mengalahkan Rahwana dan membunuhnya, Rahwana raja Alengka  yang mencuri Sinta, maka Rama dapat berjumpa kembali dengan Sita istrinya. Akan tetapi, Rama meragukan kesucian Sinta, betapapun Sita menyatakan bahwa ia tidak pernah terjamah Rahwana. Untuk membuktikan kesuciannya itu Sinta bersedia dibakar, bila terbakar berarti ia pernah dijamah Rahwana, bila tidak terbakar berarti ia masih tetap suci. Dalam cerita wayang memang Sita tidak terbakar karena ditolong oleh dewa sebab memang ia sungguh masih suci, ia selalu menolak bila dirayu oleh Rahwana. Akan tetapi, dalam sajak itu ceritanya dengan sengaja diubah oleh Subagio untuk mengemukakan pikirannya sendiri. Ini menunjukkan ’kreativitas’ subagio sebagai seorang penyair.
Puisi Makassar masih tetap dipakai dalam interaksi dalam lingkungan keluarga khususnya dalam strarata sosial tertentu dan dalam acara ajjangang-jangang (melamar gadis). Ketika remaja mengincar seorang gadis misalnya, secara spontan orangtua menyampaikan pesan lewat puisi, sebagaimana berikut ini.
Teako jalling matai
 anjo tope tassampea.
Nia patanna
Tanakalimbuki mami

Terjemahan

Jangan engkau lirik
Sarung yang tergantung itu
ada yang punya
tinggal menunggu waktu yang tepat

Kemudian puisi tersebut dijawab oleh orang (anak) yang melirik gadis itu, sebagaimana berikut ini.

Susa tongi takujalling
anjo tope tassampea
anjo patanna
tena tompa tantuanna.

Terjemahan

Gundah hati saya
Bila tidak melirik sarung yang tergantung itu
Karena yang empunya
Belum ada kepastian

Keunikan kelong ini adalah karena dianggap memiliki nilai yang sangat tinggi sebagai ekspresi kesantunan dalam interaksi melamar gadis. Sehingga kalau salah menyampaikan biasanya lamaran si pemuda ditolak, karena dianggap kurang sopan. Oleh karena itu, utusan dari pihak laki-laki adalah orang-orang tertentu yang pandai berpuisi, sebelum memasuki acara inti yaitu membicarakan tentang pinangan mereka (Ali, 2009: 13).
Kalindaqdaq, adalah puisi Mandar yang masih banyak digunakan oleh masyarakat pendukungnya, sebagai sastra daerah dan sekaligus sebagai pendukung budaya dalam rangka memperkaya khazanah budaya nasional.
Penggambaran keteguhan pada pendirian suku Bugis menamai siri, suku Makassar menamai sirik na pacce, sementara suku Mandar menamai masiriq. Apabila harga diri atau masiriq itu dilanggar, maka orang akan marah dan berusaha membela dan memertahankan walaupun nyawa taruhannya.
Dalam kalindaqdaq percintaan, harga diri sangat menonjol. Oleh karena itu masiriq  timbul karena persoalan hubungan antara seorang pemuda dan seorang gadis. Untuk lebih jelasnya diperhatikan kalindaqdaq berikut ini.
Muaq diang na maqala
Pandeng pura u tujuq
Apa gunana
Pataeng di reqdeu

Terjemahannya

Bila ada yang akan mengambil
Pandan yang sudah kuikat
Apa gunanya
Senjata tajam di pinggangku

Puisi tersebut menggambarkan sikap seorang laki-laki yang sudah bertunangan dengan seorang gadis pilihannya. Untuk memertahankan kehormatan dirinya, dia membawa sebilah keris sebagai senjatanya apabila ada orang yang mencoba mengganggu gadis pilihannya. Kata panden yang bermakna pandang merupakan simbol seorang gadis.
Demikianlan pemahaman puisi tidak dapat dilepaskan dari latar belakang kemasyarakatan dan budayanya. Sebagaimana uraian Pradopo (2005) bahwa sastrawan itu adalah anggota masyarakat tidak dapat lepas dari pengaruh sosial budaya masyarakatnya. Latar sosial budaya itu terwujud dalam tokoh-tokoh yang dikemukakan, sistem kemasyarakatan, adat-istiadat,  pendangan masyarakat, kesenian, dan benda-benda kebudayaan yang terungkap dalam karya sastra.

B.     Makna simbolik suatu puisi
Puisi ditulis tidak terutama untuk dipahami, melainkan untuk dinikmati. Para sarjana sastra, para kritikus, para penyair, dan mereka yang disebut ahli puisi, mungkin berpendapat lain karena mereka melihat puisi dari lebih banyak sudut pandang. Saya bukan bagian dari golongan itu.
Saya bersentuhan dengan puisi sebagai penikmat. Dengan sendirinya, meskipun saya tidak mengerti puisi tapi bisa menikmati puisi, seperti halnya banyak orang tak mengerti ujung pangkal persoalan musik, dan tak bisa memainkan instrumen musik apa pun, tapi mereka---juga saya---masih bisa menikmati keteraturan dan harmoni bunyi musik, dan makna-makna simbolis yang dikandungnya. Ini karena puisi dan musik bersentuhan bukan dengan akal budi, dan rasionalitas, melainkan lebih dekat dengan dunia batin, dan perasaan manusia.
Puisi bisa dinikmati dengan mata wadak, karena komposisinya yang bagus, misalnya tersusun dalam bentuk segitiga sama kaki, atau segi tiga terbalik. Sebagian dalam komposisi piramida. Selebihnya ada yang tampil dalam bait-bait biasa, yang membuat jiwa kita ikut hanyut dalam plastisitas permainan kata, permainan simbol dan bunyi dan ada kalanya kita mengikuti asosiasi antara kata, bunyi dan makna-makna yang tak jarang telah kita kenal secara akrab.
Ada bahkan puisi yang tak memperlihatkan komposisi, misalnya puisi satu baris kalimat, karya penyair Toba, Sitor Situmorang, berjudul "Malam Lebaran"
Bulan di atas kuburan
Ada pula puisi yang bisa dinikmati dari segi komposisinya yang tak terlalu "lazim", yang merupakan hasil "perjuangan" mencari kebaruan-kebaruan, yang kemudian diikuti banyak penyair lain, seperti dapat dicontohkan pada karya-karya Sutardji Chalzoun Bachri. Sementara itu permainan kata dan bunyi, yang membuat kita mengasosiasikannya dengan kata dan bunyi lain---yang bisa saja tak harus sama dengan apa yang dimaksudkan Tardji sendiri---dapat ditemukan dalam bunyi "ngiau" yang mudah kita terka simbol atau bunyi apa. Patut dicatat bahwa pada dasarnya puisi-puisi Tardji disebut puisi "gelap" : puisi abstrak, simbolik dan tak mudah ditebak maknanya.
"Angin Pun Berbisik": Kumpulan Sajak Cinta, yang ditulis oleh satu keluarga "aneh" yang semuanya penyair--- atau semua berusaha dan mencoba menjadi penyair---ini pula pelan-pelan membawa saya ke satu kenikmatan kenikmatan lain. Ada kenikmatan bunyi, ada kenikmatan kata dan symbol, yang mengikat dan mempertautkan kita dengan perasaan dan pengalaman masa lalu kita. Tapi sebagian dengan jelas mempertautkannya dengan sejarah dan pengalaman masa lalu para penyair ini sendiri.
Sebetulnya saya tak harus mengatakan bahwa sajak bukan lahir dari rindu yang melankolik, dan ketika kita yang sedang rindu itu melihat bulan langsung lahir sebuah sajak. Sajak yang lahir karena melihat bulan, atau menghayalkan bunyi ombak dan watak lautan, biasanya hanya menjadi "sajak-sajakan" yang dangkal dan hampa dari makna. Sajak yang intens selalu lahir dari sejarah kegetiran, dari perjuangan, dan dari makna-makna terdalam, yang menyentuh penghayatan dan dunia nilai di dasar kehidupan manusia.
Sajak "Nisan", karya Chairil Anwar, misalnya, lahir dari kegetiran hidup seorang cucu yang kehilangan sang nenek yang sangat dicintainya. Juga karya Chairil lainnya: "Tak Sepadan" misalnya.
Buku ini memperlihatkan dengan nyata, dan secara simbolik menyiratkan penghayatan dan pengalaman sejarah yang intens di dalam hidup para penyairnya. Tapi saya hanya bisa menampilkan sebagian yang saya tangkap dengan cepat, Ini yang berhubungan dengan kata -kata dan simbol di baliknya;
Kudengar entah suara siapa
Melengking melantunkan doa
( "Angin Pun Berbisik" 4)
Kudengar angin pun berbisik
Hampa mendera di antara kita:
Sepi, dan...
Semakin menggeletar ketika angin berlalu
(Dari judul yang sama, penyair yang sama).
Cinta dan rinduku padamu
Hanya dewa yang menyimpannya
( "Cintaku Padamu").
Namun dalam syair doaku-doaku
Namamu,masih mewarnai guratannya
("Angin Pun Berbisik" 5)

Sajak-sajak ini memberi kenikmatan kita, dan kita diberi kebebasan untuk memaknainya secara subyektif, sesuai dengan batas pengalaman dan penghayatan kita atas hidup, ketakutan, rasa cemas dan doa, yang mungkin membebaskan kita dari rasa takut dan kecematasan itu.
Ataukah doa hanya respons latah? Mengapa doa yang tampil? Usaha mencari pemecahan masalah secara mudah, dan bahkan yang termudah dari semua yang bisa ditempuh manusia? Ataukah doa merupakan cermin kedalaman iman, ketulusan dan kegigihan meluhurkan Tuhan, dan yang akan dengan sendirinya membuat segala masalah lenyap, selesai, dan tuntas?
Saya tak ingin menjawab persoalan-persoalan ini untuk membiarkannya menjadi bagian dari kompleksitas sajak-sajak di dalam buku ini. Selebihnya saya pun merasakan indahnya ungkapan kata-kata di bait-bait terakhir sajak Irwan, dengan judul "Cemburu" 2, berikut;
Sedang rembulan di tanangmu belum jua membelah
Malam untuk dibaringkan
Pada bantal yang selalu basah
Karena air mata tak cukup mengucap cinta
Saya merasakan ungkapan-ungkapan Irwan yang belum pernah saya baca sajaknya sebelum ini, begitu kuat. Namun tentu saja ada yang berakhir lemah, kurang daya dan tak punya gema, mungkin karena salah memilih kata atau ungkapan?
Ia tak punya pilihan
Cinta menjadikannya luruh pada nasibnya;
di mana perempuan selalu menerimanya;
sebagai mimpi yang harus dirajutnya
Saya merasakan ungkapan ini seperti sebuah pidato yang membosankan. Mungkin karena penyairnya belum terlalu terlatih dan masih sibuk melawan gangguan kedangkalannya sendiri?
Siti,Atmamiah, dalam puisi "Gubah" mengingatkan kita pada lagu tahun 1970-an "Blue blue my love is blue", ketika ia berdendang:
Dan langit berubah menjadi puisi
Hidupku
Untuk kau gubah kembali
Dengan biru cintamu
Dalam puisi "Ibu", Siti berkata;
Ibu,
Kupinjam surgamu
Melebar legam tubuhmu
Ia menyampaikan pada kita makna simbolik Ibu sebagai pemilik, atau pembawa (?) surga, sebagaimana kita kenal baik ungkapan" surga di bawah telapak kaki ibu"
Dalam puisi "Kepada Adam", kita disuguhi oleh Siti, penghayatan atas pengalaman sejarah, tapi tanpa kegetiran, tanpa rasa duka. Pengalaman dan sejarah di sini tampil dalam wajah rutinitas yang datar, dan mungkin juga hambar karena tanpa sekeping pun unsur dramatik di dalamnya.
Aku adalah waktu yang rindu
Berbaring dan mengenang
Lembar demi lembar
Cerita lama
Ketika malam tiba-tiba
Menjadi pagi
Tetapi di dalam "Ketika Putri Kecilku Melihat Bulan" kita disuguhi asosiasi yang begitu alamiah melalui cara pandang kanak-kanak;
"Mama, aku melihat bola
Di atas sana
Putih warnanya
Seperti bola mainanku"
Dan Siti pun menjelaskan makna asosiasi yang lain, hening itu identik dengan sujud, atau sebaliknya: sujud adalah momen keheningan.
"Tuhan telah menjaganya
Dan heningnya itu
Adalah sujudnya"
Dalam "Angin" kita simak uangkapan Zeffa mengenai angin sebagai nada indah dan suara merdu' yang terasa seperti sebuah reportase jurnalistik.
Angin..
Tidak akan pernah habis, ceritamu
Setiap hari berlari denganku
Nada indah dan suara merdu
Untuk alam dan teman-temanku
Dalam puisi "Pasar" Zeffa memberi kita sebuah metafora' Pasar
Banyak orang bertukar barang
Sedikit orang bertukar senyum
Seorang anak ingin membeli senyum
Tapi tak ada yang menjual senyum
Sedihnya..
Dan kita pun dibuatnya berpikir, bahwa pasar, dunia ekonomi yang memang angkuh, yang menghormati manusia, dan menentukan derajatnya sesuai dengan jumlah kekayaan (uang) yang dimilikinya, memang tak pernah merasa perlu tersenyum.
Kita belajar dari puisi Zeffa bahwa banyak hal bisa dibeli. Tapi senyum tidak. Di sini, sekali lagi, saya menikmati kaitan antara permainan kata, simbol dan bunyi, dan asosiasi antara makna suatu kata dengan suatu jenis bunyi, Saya dan buku puisi ini berdialog dan saling melengkapi. Saya bersyukur sempat meluangkan waktu untuk menikmati indahnya kata, symbol, bunyi dan asosiasi, yang seolah berloncatan secara dinamik dalam dunia nilai yang tak kasat mata.





BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Menurut Teeuw (1983) untuk dapat memberikan makna sepenuhnya kepada sebuah sajak, analisis tidak dapat dilepaskan dari latar belakang kemasyarakatan dan budanyanya. Karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya (Abrams, 1981). Hal ini mengingat bahwa sastrawan itu adalah anggota masyarakat, maka ia tidak dapat lepas darinya. Latar sosial budaya itu terwujud dalam karakter tokoh-tokoh yang dikemukakan, sistem kemasyarakatan, adat-istiadat, pandangan masyarakat, kesenian, dan benda-benda kebudayaan yang terungkap dalam karya sastra.
Puisi ditulis tidak terutama untuk dipahami, melainkan untuk dinikmati. Para sarjana sastra, para kritikus, para penyair, dan mereka yang disebut ahli puisi, mungkin berpendapat lain karena mereka melihat puisi dari lebih banyak sudut pandang. Saya bukan bagian dari golongan itu.
B.     Saran
Setiap karya sastra akan mengandung yang namanya unsur intrinsik serta ekstrensik didalamnya. Unsur Ekstrensik itu terdapat sosial budaya didalamnya. Setiap karya sastra jangan sampai melenceng dari nilai-nilai yang terkandung serta tidak mengandung unsur sara serta menyindir pihak lain.



DAFTAR PUSTAKA
Kusmayadi, ismail. 2007. Think Smart Bahasa Indonesia Kelas XII. Bandung : Grafindo Media Pratama.
Damayanti, Dewi. 2012. Buku Pintar UN SMP 2013. Jakarta : Cmedia








Tidak ada komentar:

Posting Komentar